"Sebuah Suara Lantang dari Pinggir Trotoar Kota Mataram"oleh Burhan mety penggiat LSM -LPKB
GeMa NTB-Dompu-Di tengah hiruk-pikuk pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Provinsi (RSUP) Nusa Tenggara Barat (NTB), ada pemandangan memilukan yang seolah tak lagi menggetarkan nurani sebagian pengambil kebijakan: warga Kabupaten Dompu yang mengantar keluarganya untuk berobat terpaksa tidur di pinggir trotoar, di tepi got, bahkan di emperan toko-toko sekitar rumah sakit.
Mereka bukan gelandangan. Mereka adalah orang tua, suami, istri, dan anak-anak yang datang dengan harapan mendapatkan pengobatan yang lebih baik untuk orang yang mereka cintai. Namun, keterbatasan ekonomi dan ketiadaan tempat singgah membuat mereka harus menerima keadaan, beralaskan kardus atau tikar lusuh, berselimut angin malam, dan berdampingan dengan got—yang menjadi sumber kotoran, pampers bekas, tikus, dan kecoa.
Sudah bertahun-tahun, masyarakat Dompu melalui berbagai cara—baik lisan maupun tertulis—mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Dompu agar Wisma Dompu yang berada di Kota Mataram dijadikan rumah singgah bagi warga tidak mampu. Tempat itu, yang notabene adalah aset Pemda Dompu, seharusnya bisa menjadi solusi kemanusiaan bagi mereka yang terpaksa merantau jauh untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Namun sayangnya, hingga hari ini, usulan tersebut tidak pernah diindahkan. Dua periode kepemimpinan Bupati H. Bambang, bahkan hingga masa Bupati A. Kader Jaelani, aspirasi rakyat tersebut hanya menjadi angin lalu.
Lebih ironis lagi, jawaban dari Ketua TP2D Asrul dan pernyataan langsung dari Bupati menyebut bahwa Wisma Dompu telah dijadikan penyertaan modal di Bank NTB Syariah sejak tahun 2023, pada masa Bupati A. Kader Jaelani. Ini sungguh disayangkan. Ketika masyarakat membutuhkan ruang untuk berteduh dan beristirahat dengan layak, Pemerintah Kabupaten Dompu justru lebih memilih berinvestasi pada lembaga keuangan.
Investasi atau Kepentingan Publik?
Tidak ada yang salah dengan investasi. Tapi pertanyaannya, apakah itu lebih penting dari kebutuhan masyarakat yang paling mendasar? Apakah menjaga citra di mata lembaga keuangan lebih utama dibandingkan menghadirkan kemanusiaan bagi rakyat sendiri?
Kita tidak sedang berbicara soal keuntungan finansial, melainkan soal martabat manusia. Rakyat Dompu yang tidur di pinggir jalan itu adalah warga Kabupaten Dompu—mereka membawa nama daerah. Ketika mereka tidur di tempat tak layak, itu bukan hanya memalukan mereka sebagai individu, tetapi juga mencoreng wajah pemerintah daerah yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom rakyatnya.
Seruan kepada Pemerintah Kabupaten Dompu
Kami menyerukan kepada Bupati Dompu saat ini agar segera mengambil langkah konkret:
Cabut penyertaan modal Wisma Dompu dari Bank NTB Syariah, cari aset alternatif lainnya jika memang investasi harus tetap dilakukan.
Alihfungsikan Wisma Dompu menjadi rumah singgah permanen bagi masyarakat Dompu yang berobat di Kota Mataram.
Libatkan organisasi sosial dan masyarakat sipil dalam pengelolaan rumah singgah agar berkelanjutan dan tepat sasaran.
Tugas pemerintah adalah melindungi rakyatnya, terlebih mereka yang lemah dan tak punya suara. Jangan biarkan suara tangisan dan kesedihan warga kecil ini hanya menjadi deru angin malam di trotoar Mataram. Hentikan penderitaan yang sebenarnya bisa dicegah—cukup dengan kebijakan yang berpihak kepada kemanusiaan.
Bukan soal kritik atau pujian. Ini tentang empati. Tentang bagaimana seorang pemimpin bisa melihat dari sudut pandang mereka yang tidur di sisi got—dalam dingin, lapar, dan cemas. Semoga suara kecil ini, suara dari pinggir trotoar itu, bisa mengetuk hati para pemangku kebijakan.tutup nya.
COMMENTS